Rabu, 03 Desember 2008

Otak bayi seperti otak Einstein

Mungkin Anda bertanya kenapa saya memakai judul seperti itu. Kenapa Einstein?, kenapa bukan Thomas Alva Edison, Aljabar, Leonardo Da Vinci atau Al Khawarizmi?. Ya, Albert Einstein. Si Tua yang sering memakai cardigan lusuh, berambut acak-acakan, dahi keriput, kumisnya yang khas, mata tuanya yang  menatap tajam adalah ikon kejeniusan abad 21.      Dengan teorinya yang terkenal: Relativitas, semua orang tahu rumusnya E= mc2 tetapi amat sedikit yang memahaminya.
     Kemudian kalau Anda pandangi anak atau keponakan Anda yang masih bayi, lihatlah kulitnya yang lembut, matanya yang bening, mulut dan jemarinya yang mungil, serta kepalanya yang ditumbuhi rambut halus itu didalamnya terdapat segumpal otak yang membentuk jutaan koneksi setiap hari.
     Apa sebenarnya benang merah yang menghubungkan keduanya yang nyata-nyata berbeda secara fisik dan usia?. Menurut buku Keajaiban Otak Anak karangan Alison Gopnik, Ph.D, Andrew N. Meltzof, Ph.D, dan Patricia K. Kuhl, Ph.D yang diterbitkan oleh penerbit Kaifa, keduanya memiliki kesamaan bahwa bayi dan anak-anak mengetahui dan belajar lebih banyak mengenai dunia daripada yang pernah kita bayangkan. Mereka berpikir, menarik kesimpulan, membuat prediksi, mencari penjelasan, bahkan melakukan eksperimen. Para ilmuwan dan anak-anak memiliki keterkaitan karena mereka pembelajar terbaik di alam semesta ini.
     Kita lihat bagaimana makhluk kecil, mungil nan mempesona ini belajar, mereguk rahasia-rahasia semesta, menyokong tersambungnya sel-sel saraf atau neuron. Karena ternyata otak anak-anak jauh lebih sibuk dibandingkan dengan otak kita. Pada usia tiga bulan, wilayah-wilayah otak yang terlibat dalam aktivitas melihat, mendengar, dan menyentuh membakar glukosa dalam jumlah yang lebih banyak. Ini berarti kebutuhan energi untuk bayi begitu tinggi. Konsumsi energinya mencapai level orang dewasa pada saat anak berusia sekitar 2 tahun. Dan pada usia 3 tahun, otak anak kecil sesungguhnya dua kali lebih aktif daripada otak orang dewasa.
     Dengan keruwetan dan kecepatan  koneksi neuron yang mengagumkan semenjak dalam tahap embrionik, tidak mengherankan bila sebelum mampu berbicara berjalan atau bahkan merangkak, mereka dapat memahami perbedaan antara ekspresi bahagia, sedih dan marah. Sebelum usia 10 bulan, bayi bisa menangkap semua bunyi bahasa. Baru setelah usia itu, anak-anak mempelajari bahasa dalam budaya unik mereka. Pada usia 1 tahun sudah paham bahwa benda-benda bisa saling mempengaruhi. Kemudian pada usia 2 tahun anak-anak mulai rewel dan nakal, yang mencerminkan pertentangan murni antara kebutuhan anak-anak untuk memahami orang lain dan kebutuhan mereka untuk hidup rukun. Dan anak usia 3 tahun mampu mengenali bunyi dan perbedaan kata dibandingkan komputer yang dirancang untuk itu. Bahkan yang paling canggih sekalipun.
     Inilah yang disebut masa-masa emas itu. Masa-masa yang tidak akan datang dua kali. Masa yang apabila kita kelola dengan baik, anak kita kelak akan menjadi maestro.
       
      


Tidak ada komentar: