Selasa, 25 November 2008

Mendidik berarti memerdekakan, bukan memenjarakan

     Kalau Anda pernah membaca novel Laskar Pelangi, anda akan menemukan satu bagian cerita dimana Bu Muslimah membiarkan si Mahar untuk menemukan ide dalam rangka lomba karnaval mewakili sekolahnya. Singkat cerita, dengan perenungan model seniman nyentrik, Mahar berhasil menemukan koreografi heboh--cuma dia yang tahu skenarionya hingga menit-menit terakhir saat mereka berpentas. Hasilnya, anak-anak Sekolah Muhammadiyah di Kampung Gantong yang selama bertahun-tahun belum pernah naik podium (bahkan untuk merasakan juara harapan), berhasil menjadi juara pertama.
     Apa hikmah yang dapat kita ambil dari kisah di atas?. Memerdekakan. Ya, ketika pendidik (baca: orangtua & guru) membiarkan kemerdekaan anak didiknya dalam mempelajari sesuatu maka hasilnya adalah sesuatu yang menakjubkan. Tugas pendidik adalah menjadi fasilitator bagi gairah keilmuan anak didiknya, bukan menjadi penghambat sekaligus pembunuh kreatifitas anak. Anak didik (murid{Bhs Arab}: arada-yuridu-muridan = yang mempunyai kehendak) seharusnya dibiarkan saja keinginanya dalam meneguk kesegaran lautan ilmu. Biarkan mereka mencoba, biarkan mereka bertanya. Kalaupun pendidik belum tahu jawabannya, jangan marahi anak untuk menutupi kebodohan pendidik sendiri. Ajak diskusi, cari tahu di buku, internet atau ajak anak ke tempat-tempat yang berhubungan dengan pertanyaan si anak semisal; rumah sakit, pasar, laboratorium, atau ajak anak mengenal alam.
      Model pendidikan yang diseragamkan, hanya akan menjadikan anak semacam produk pabrikan. Padahal kecenderungan anak berbeda-beda. Ada anak yang cenderung menjadi seniman, olahragawan, petani, atau bahkan menjadi seorang desainer. Tetapi apa? coba tanya anak anda kalau besar nanti akan jadi apa? jawabannya pasti jadi dokter kalau tidak pilot kalau tidak, polisi. Jarang ada yang menjawab ingin jadi komikus atau pemain bola. Padahal di luar negeri, profesi seperti ini amat sangat menjanjikan. Sebab sepak bola dan komik telah menjadi industri yang perputaran uang didalamnya mencapai milyaran dollar Amerika.
      Model pendidikan seperti ini pula yangmenunjukkan kegagalan pendidik. Sebab dalam satu kelas yang pandai cuma tiga anak; peringkat 1,2 dan 3. Yang lain dianggap bodoh. Yang bodoh gurunya, atau gurunya...  

Tidak ada komentar: